Rabu, 28 September 2016

APROPRIASI SENI



Apropriasi dalam penciptaan karya seni bisa diartikan sebagai kecenderungan menggunakan atau meminjam karya orang lain sebagai pijakan. Meminjam elemen-elemen suatu karya untuk menciptakan karya baru. 



Karya yang dipinjam bisa sangat beragam, dari produk budaya populer sampai karya-karya masterpiece dari berbagai rentang waktu dengan segala konsep sosio-historis dan politik yang melatarbelakanginya. Apropriasi juga dapat dikatakan menciptakan karya seni baru dengan menggunakan prinsip yang sama dengan karya seni orang lain. Gagasan dari karya seni yang dilempar cenderung berbeda dari karya seni yang menjadi tinjauan, bisa lebih terbarukan tentang isu yang sama atau-pun tak ada hubungannya sama sekali dengan gagasan karya yang menjadi tinjauan, bisa pula menyindir, menyanggah, atau merevisi. 


Apropriasi dianggap memiliki muatan yang lebih kompleks dari sekedar meniru  dan mewakili konsep sang seniman.Dalam prakteknya apropriasi seni sering muncul perbincangan tentang Hak Cipta, Pembajakan, Pencederaan karya cipta dan Orisinalitas berkarya, serta lain sebagainya. Cukup banyak seniman yang karyanya telah ditiru, dijiplak, atau dipergunakan merasa Hak Cipta-nya telah dilanggar.



Tetapi di era seni rupa kontemporer ini, semua prinsip adiluhung seni modern dijungkir balikkan sedemikian rupa. Isu-isu seperti autentisitas, orisinalitas, kejujuran terhadap medium, kebebasan, dan keagungan karya seni menjadi tidak berarti lagi. Seni telah menjadi sebuah praktik yang erat dengan kapitalisme dan kekuasaan secara simbolik, dan seni menjadi subjek dari sistem yang mendukung praktik tersebut. Metode berkarya pun terus berubah seiring dengan perubahan cara pandang masyarakat modern akan suatu fenomena. Dan fenomena yang terus berkembang sampai sekarang adalah mengapropriasi.

Dalam pameran ‘On Apreciation’  yang digelar tahun 2007 muncul  nama-nama seniman Agus Suwage, Aminudin TH Siregar, Ariadithya Pramuhendra, Astari, Bambang "Toko" Witjaksono, Dadan Setiawan, Dipo Andy, Gede Mahendra Yasa, Hamad Khalaf, Radi Arwinda, Wiyoga Muhardanto, serta Yogie Ahmad Ginanjar.

 


Agus Suwage membuat serial potret berjudul "I Want to Live Another Thousand Years" yang menampilkan potret Benyamin S, Sitting Bull, John Bonham, dan Kurt Cobain. Mereka seluruhnya tengah mengisap sigaret.

Agus Suwage,yang sejak pertengahan 1995-an mulai menggarap karya-karya berwatak apropriasi dengan meminjam corak artistik karya perupa Jerman, Anselm Kiefer, Francis Bacon dari Inggris, dan lainnya. Tetapi kemudian beringsut mencari coraknya sendiri , dengan menampilkan tubuh maupun wajahnya beragam pose dan mimik secara realis, sebagai bentuk “peragaan” untuk mengungkapkan gagasannya dalam berbagai persoalan sosial-budaya yang bernuansa parody. Model apropriasi dalam motif kekaryaan Suwage adalah meminjam citraan ikonik, sebagai acuannya, untuk kepentingan metafor nilai-nilai yang berkecamuk, antara cinta dan benci, kagum sekaligus mengejek, memparodikan dan seterusnya.


Ada juga Marcel Duchamp yang mendekonstruksi “MonalisaLeonardo Da Vinci dalam “L.H.O.O.Q”. Selain itu, ada pula seniman-seniman seperti Roy Lichstentein, Claes Oldenburg, dan Andy Warhol yang mengapropriasi image dan teknik dari budaya popular yang kemudian dikenal dengan istilah POP ART atau seni populer. Di Indonesia fenomena ini juga meramaikan karya-karya yang beredar di pasaran. Karya-karya Asmudjo J. Irianto, Pramuhendra, Dipo Andy, dan sebagainya memakai pendekatan apropriasi dalam berkarya, dengan atau tanpa parodi.



Sumber ;


Tidak ada komentar:

Posting Komentar