Apropriasi
dalam penciptaan karya seni bisa diartikan sebagai kecenderungan menggunakan
atau meminjam karya orang lain sebagai pijakan. Meminjam elemen-elemen suatu
karya untuk menciptakan karya baru.
Karya yang dipinjam bisa sangat beragam, dari
produk budaya populer sampai karya-karya masterpiece dari berbagai
rentang waktu dengan segala konsep sosio-historis dan politik yang
melatarbelakanginya. Apropriasi juga dapat dikatakan menciptakan karya seni
baru dengan menggunakan prinsip yang sama dengan karya seni orang lain. Gagasan
dari karya seni yang dilempar cenderung berbeda dari karya seni yang menjadi
tinjauan, bisa lebih terbarukan tentang isu yang sama atau-pun tak ada
hubungannya sama sekali dengan gagasan karya yang menjadi tinjauan, bisa pula
menyindir, menyanggah, atau merevisi.
Apropriasi dianggap memiliki muatan yang lebih kompleks dari sekedar meniru dan mewakili konsep sang seniman.Dalam prakteknya apropriasi seni sering muncul perbincangan tentang Hak Cipta, Pembajakan, Pencederaan karya cipta dan Orisinalitas berkarya, serta lain sebagainya. Cukup banyak seniman yang karyanya telah ditiru, dijiplak, atau dipergunakan merasa Hak Cipta-nya telah dilanggar.
Tetapi
di era seni rupa kontemporer ini, semua prinsip adiluhung seni modern dijungkir
balikkan sedemikian rupa. Isu-isu seperti autentisitas, orisinalitas, kejujuran
terhadap medium, kebebasan, dan keagungan karya seni menjadi tidak berarti
lagi. Seni telah menjadi sebuah praktik yang erat dengan kapitalisme dan
kekuasaan secara simbolik, dan seni menjadi subjek dari sistem yang mendukung
praktik tersebut. Metode berkarya pun terus berubah seiring dengan perubahan
cara pandang masyarakat modern akan suatu fenomena. Dan fenomena yang terus
berkembang sampai sekarang adalah mengapropriasi.
Dalam pameran ‘On Apreciation’ yang digelar tahun 2007 muncul nama-nama seniman Agus Suwage, Aminudin TH Siregar,
Ariadithya Pramuhendra, Astari, Bambang "Toko" Witjaksono, Dadan
Setiawan, Dipo Andy, Gede Mahendra Yasa, Hamad Khalaf, Radi Arwinda, Wiyoga
Muhardanto, serta Yogie Ahmad Ginanjar.
Agus Suwage membuat serial potret berjudul
"I Want to Live Another Thousand Years" yang menampilkan potret Benyamin S, Sitting Bull, John Bonham, dan Kurt Cobain. Mereka seluruhnya tengah mengisap sigaret.
Agus
Suwage,yang sejak pertengahan 1995-an mulai menggarap karya-karya berwatak apropriasi dengan meminjam corak artistik karya
perupa Jerman, Anselm Kiefer, Francis Bacon dari Inggris, dan lainnya. Tetapi
kemudian beringsut mencari coraknya sendiri , dengan menampilkan tubuh maupun
wajahnya beragam pose dan mimik secara realis, sebagai bentuk “peragaan” untuk mengungkapkan
gagasannya dalam berbagai persoalan sosial-budaya yang bernuansa parody. Model
apropriasi dalam motif kekaryaan Suwage adalah meminjam citraan ikonik, sebagai
acuannya, untuk kepentingan metafor nilai-nilai yang berkecamuk, antara cinta
dan benci, kagum sekaligus mengejek, memparodikan dan seterusnya.
Ada
juga Marcel Duchamp yang mendekonstruksi “Monalisa” Leonardo Da
Vinci dalam “L.H.O.O.Q”. Selain
itu, ada pula seniman-seniman seperti Roy
Lichstentein, Claes Oldenburg, dan Andy Warhol yang mengapropriasi image dan teknik
dari budaya popular yang kemudian dikenal dengan istilah POP ART atau seni populer.
Di Indonesia fenomena ini juga meramaikan karya-karya yang beredar di pasaran.
Karya-karya Asmudjo J. Irianto, Pramuhendra,
Dipo Andy, dan sebagainya memakai pendekatan
apropriasi dalam berkarya, dengan atau tanpa parodi.
Sumber ;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar